Sejujurnya aku belum bisa memastikan apakah masa SMA-ku lebih baik dari SMP atau sama saja.
Anak SMA secara emosional rata-rata sudah cukup dewasa tak ada diantara mereka yang menyakitiku secara lisan maupun perbuatan. Masalahnya hanya ada padaku. Aku terlalu sensitive dan mudah terluka di masa itu.
Aku tumbuh dengan rasa takut, rasa tegang sejak kecil dengan jantung yang berdebar selalu was-was akan apa yang berikutnya terjadi. Aku membiasakan diriku berpikir hal terburuk yang bisa terjadi padaku hari itu. Aku mulai membiasakan sikapku menjadi antara ada dan tiada. Aku pasif, ada dan tiadanya aku tak ada artinya bagi mereka. Aku sadar, sangat sadar teman-teman akan frustasi jika aku masuk kelompoknya dalam tugas/parktik kelompok mereka. Aku tak bisa memberikan kontribusi yang berarti. Aku paham, itu salahku aku tak bisa membuka diriku lebih jauh aku tumbuh dalam perasaan takut akan tersakiti, aku membentuk mekanisme perlindungan menjaga jarak dengan siapa pun aku tak ingin dekat dengan siapa pun.
Aku tak ingin melukai siapapun dan aku tak mau dilukai siapapun, itu prinsipku saat SMA. Aku tak bisa berbohong, anak-anak lain memandangku tak asik diajak bercanda dan terlalu serius. Keringat dingin selalu bercucuran ketika berada di depan kelas. Aku begitu tegang setiap waktu, begitu ketakutan, aku tak sanggup mengeluarkan suara tinggi, aku begitu pemalu. Ketika akan menyapa pada teman sekelas atau bertanya hal-hal simple aku butuh waktu untuk merangkai kalimat tanya itu dan saat aku berhasil melontarkan pertanyaanku, anak itu pergi, ya suaraku terlalu kecil bahkan yang disebelahku tak bisa mendengarnya dengan jelas. Suaraku seperti lalat yang berdengung.
Masa SMA, aku masih berteman dekat dengan pohon dan tumbuh-tumbuhan. Ketika pagi-pagi berangkat ke sekolah aku diantar Bapak di sepanjang jalan aku bercakap-cakap dengan pepohonan, seperti ‘Pagi Pohon dan tumbuh-tumbuhan, kau segar sekali pagi ini wah daun hijau mu lebar-lebar dan banyak.. berikanlah aku energi mu, aku ingin bisa melalui hari ini dengan baik, kau terlihat menyenangkan pagi ini’. Saat jam istirahat di sekolah aku akan kebelakang kelas, tepatnya disana ada sepetak ruang green house... dan aku bercakap-cakap sendiri disana menghilangkan rasa jenuhku.
Walaupun lebih banyak kisah yang tak enak.. tapi aku punya 2 teman dekat semasa SMA bahkan sampai saat ini kami masih dekat. Iya, mereka itu Isti Ngarofah dan Erin Purhita. Dengan dua orang ini kami berbagi mengisi masa SMA.. dulu awal-awal boomingnya facebook, youtube, dan aplikasi chating. Kami bertiga sering ke warnet untuk menonton drama, berburu majalah-tabloid-poster bersama, keliling pasar, saat kelas 1 kami berkumpul ditempat Winda, saat kelas 3 Winda keluar dan kami berkumpul di tempat Erin. Mereka cerewet, sederhana, dan selalu selalu membuatku tertawa, aku menyukai orang yang cerewet dan mereka memahami ku tanpa aku perlu menjelaskan apa dan bagaimana. Erin sekarang tinggal diluar Jawa. Sejauh apapun mereka dimana pun mereka orang-orang yang spesial bagi ku akan selalu dekat di hatiku walaupun tak pernah bertemu bertahun-tahun yakinlah kalian selalu ada disetiap rasa syukur ku di sepanjang waktu.
Aku bukan orang yang terbuka mengenai masa lalu, tak pernah bercerita kepada siapa pun akan hal ini. Mengapa sekarang memajang refleksi secara public bahkan stranger pun bisa membacanya? mmm.. let me tell u, refleksi-refleksi ini adalah hal yang ku kubur dan tak ingin ku pikirkan lagi karena aku harus move on ke chapter lain di kehidupan ini, sayangnya setiap chapter baru yang aku masuki selalu menggiringku mengenai siapa aku? kenapa aku sampai disini? dan aku harus mengoreknya lagi.. membuka lagi apa yang terjadi di chapter awal-awal, kemudian terbuka lagi ku kubur lagi terbuka lagi dan begitu seterusnya, melelahkan bukan? Jadi sekarang aku buka, mungkin suatu hari aku lupa siapa aku lagi, aku tak perlu membuka lagi karena sudah terbuka.
*** Aku tak menyesali apa yang telah terjadi, semua pengalaman aku jadikan refleksi. Ada alasan dibalik semua ini.
*** Untuk semua yang merasa terganggu oleh ku di masa lalu, aku mohon maaf.
Anak SMA secara emosional rata-rata sudah cukup dewasa tak ada diantara mereka yang menyakitiku secara lisan maupun perbuatan. Masalahnya hanya ada padaku. Aku terlalu sensitive dan mudah terluka di masa itu.
Aku tumbuh dengan rasa takut, rasa tegang sejak kecil dengan jantung yang berdebar selalu was-was akan apa yang berikutnya terjadi. Aku membiasakan diriku berpikir hal terburuk yang bisa terjadi padaku hari itu. Aku mulai membiasakan sikapku menjadi antara ada dan tiada. Aku pasif, ada dan tiadanya aku tak ada artinya bagi mereka. Aku sadar, sangat sadar teman-teman akan frustasi jika aku masuk kelompoknya dalam tugas/parktik kelompok mereka. Aku tak bisa memberikan kontribusi yang berarti. Aku paham, itu salahku aku tak bisa membuka diriku lebih jauh aku tumbuh dalam perasaan takut akan tersakiti, aku membentuk mekanisme perlindungan menjaga jarak dengan siapa pun aku tak ingin dekat dengan siapa pun.
Aku tak ingin melukai siapapun dan aku tak mau dilukai siapapun, itu prinsipku saat SMA. Aku tak bisa berbohong, anak-anak lain memandangku tak asik diajak bercanda dan terlalu serius. Keringat dingin selalu bercucuran ketika berada di depan kelas. Aku begitu tegang setiap waktu, begitu ketakutan, aku tak sanggup mengeluarkan suara tinggi, aku begitu pemalu. Ketika akan menyapa pada teman sekelas atau bertanya hal-hal simple aku butuh waktu untuk merangkai kalimat tanya itu dan saat aku berhasil melontarkan pertanyaanku, anak itu pergi, ya suaraku terlalu kecil bahkan yang disebelahku tak bisa mendengarnya dengan jelas. Suaraku seperti lalat yang berdengung.
Masa SMA, aku masih berteman dekat dengan pohon dan tumbuh-tumbuhan. Ketika pagi-pagi berangkat ke sekolah aku diantar Bapak di sepanjang jalan aku bercakap-cakap dengan pepohonan, seperti ‘Pagi Pohon dan tumbuh-tumbuhan, kau segar sekali pagi ini wah daun hijau mu lebar-lebar dan banyak.. berikanlah aku energi mu, aku ingin bisa melalui hari ini dengan baik, kau terlihat menyenangkan pagi ini’. Saat jam istirahat di sekolah aku akan kebelakang kelas, tepatnya disana ada sepetak ruang green house... dan aku bercakap-cakap sendiri disana menghilangkan rasa jenuhku.
Walaupun lebih banyak kisah yang tak enak.. tapi aku punya 2 teman dekat semasa SMA bahkan sampai saat ini kami masih dekat. Iya, mereka itu Isti Ngarofah dan Erin Purhita. Dengan dua orang ini kami berbagi mengisi masa SMA.. dulu awal-awal boomingnya facebook, youtube, dan aplikasi chating. Kami bertiga sering ke warnet untuk menonton drama, berburu majalah-tabloid-poster bersama, keliling pasar, saat kelas 1 kami berkumpul ditempat Winda, saat kelas 3 Winda keluar dan kami berkumpul di tempat Erin. Mereka cerewet, sederhana, dan selalu selalu membuatku tertawa, aku menyukai orang yang cerewet dan mereka memahami ku tanpa aku perlu menjelaskan apa dan bagaimana. Erin sekarang tinggal diluar Jawa. Sejauh apapun mereka dimana pun mereka orang-orang yang spesial bagi ku akan selalu dekat di hatiku walaupun tak pernah bertemu bertahun-tahun yakinlah kalian selalu ada disetiap rasa syukur ku di sepanjang waktu.
Aku bukan orang yang terbuka mengenai masa lalu, tak pernah bercerita kepada siapa pun akan hal ini. Mengapa sekarang memajang refleksi secara public bahkan stranger pun bisa membacanya? mmm.. let me tell u, refleksi-refleksi ini adalah hal yang ku kubur dan tak ingin ku pikirkan lagi karena aku harus move on ke chapter lain di kehidupan ini, sayangnya setiap chapter baru yang aku masuki selalu menggiringku mengenai siapa aku? kenapa aku sampai disini? dan aku harus mengoreknya lagi.. membuka lagi apa yang terjadi di chapter awal-awal, kemudian terbuka lagi ku kubur lagi terbuka lagi dan begitu seterusnya, melelahkan bukan? Jadi sekarang aku buka, mungkin suatu hari aku lupa siapa aku lagi, aku tak perlu membuka lagi karena sudah terbuka.
*** Aku tak menyesali apa yang telah terjadi, semua pengalaman aku jadikan refleksi. Ada alasan dibalik semua ini.
*** Untuk semua yang merasa terganggu oleh ku di masa lalu, aku mohon maaf.
Komentar
blogwalking ya Kawan Unik Makasih..